Ketika Silat Kampung Menjadi Sebuah Budaya
Jame Karomeh merupakan salah satu perguruan Silat Betawi yang berada di Kawasan Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Perguruan tersebut membawahi tiga sanggar yang berada di Lenteng Agung, Kebayoran Baru dan Jagakarsa sebagai pusat. Aliran silat yang dipelajari berupa Cingkrik Kembang Kong Haji Nawi. Suatu seni permainan silat yang berasal dari Kong Haji Nawi yang tidak lain merupakan kakek Ahmad Muharrom Al batawie atau biasa disapa Ki Viellay. Uniknya silat Betawi adalah ilmu yang diajarkan dengan cara turun temurun.
Anggota Jame Karomeh di pusat rata-rata remaja kelas 1 sampai 3 SMA. Dalam perjalanannya, kelompok belajar silat yang berusia kurang lebih dua tahun lebih banyak diikuti anak-anak remaja. Umumnya, mereka diajak teman sebaya untuk ikut belajar silat. Para anggota berlatih seminggu dua kali, bisa pagi maupun malam hari. Seperti saat ditemui, dengan seragam pangsi warna biru mereka telah siap berlatih sampai tengah malam.
Silat merupakan gerakan yang perlu dipelajari dengan ketekunan. Untuk itu, Ki Viellay yang pernah belajar tekwondo membagi menjadi beberapa tingkatan. Sabuk hitam diperuntukkan bagi anggota tingkat dasar. Sabuk putih untuk tingkat dasar ke menengah, sabuk merah untuk tingkat menengah dan sabuk biru untuk tingkat atas. Setiap tingkatan masih dipecah lagi menjadi polos, golok satu, golok dua dan golok tiga. Rumitnya pembagian tingkatan tidak lain karena silat membutuhkan gerakan yang sempurna. “Kalau tekun dan mengikuti metode dari awal sampai akhir bisa diselesaikan dlam waktu 2,5 sampai tiga tahun,” ujar dia tentang waktu yang dibutuhkan untuk mempelajar silat.
Untuk mengetahui kemahiran masing-masing siswa, Ki Viellay menarapkan sistem rapot. Saat dibagikan, rapot harus diambil oleh orang tua. Hal tersebut dilakukan karena banyak orang tua yang melarang anaknya belajar Silat Betawi. Mereka berpikiran bahwa Silat Betawi dinggap silat kampung yang mengandung unsur-unsur kebatinan. Sehingga banyak orang tua yang lebih senang anaknya belajar beladiri moderen dari budaya luar, seperti karate maupun tekwondo.
Sikap tersebut membuat beberapa guru Silat Betawi merasa miris, kekayaan seni bangsa sendiri dianggap kampungan. Pernah, Ki Viellay tukar cerita dengan guru Silat Betawi yang membawa permainan silat sampai ke Nederland, Belanda. “Budaya kita bisa terkikis kalau seperti ini. Kalau kita tidak dihargai disini (dalam negeri), kita bawa saja ke luar negeri untuk mencari generasi penerus,” ujar dia menceritakan obrolannya dengan seorang guru.
Silat Betawi menekan jari jemari yang menyerang dari belakang. Jari ditekan ke arah berlawanan dengan struktur tulang. Lalu dengan mudah, memplintir lengan dan membanting tubuh musuh. Penekanan jari ke arah berlawanan, plintiran di bagian pergelangan tangan maupun penekanan di bagian bawah leher merupakan cara awal melemahkan lawan. Bagian-bagian tersebut merupakan titik-titik untuk menghilangkan kekuatan lawan. Kalau sudah begitu, jawara dengan mudah mengalahkan lawan.
Sumber: Koran Jakarta
Lebih Jauh Tentang
Tidak Ada Komentar