Budaya Tradisi Milik Siapa?
INFOBUDAYA.NET — Indonesia sebagai negara multi etnik memiliki berbagai macam ekspresi budaya tradisional. Ekspresi budaya tradisional yang hidup dan berkembang dalam masyarakat merupakan hasil dari upaya pemeliharaan dan pelestarian yang dilakukan oleh kustodian selaku pemilik dari ekspresi budaya tradisional. Terlepas dari upaya kustodian dalam melestarikan ekspresi budaya tradisional, kustodian kurang menyadari urgensi perlindungan ekspresi budaya tradisional. Hal tersebut menimbulkan permasalahan tersendiri di antaranya pengklaiman ekspresi budaya tradisional oleh pihak asing, pemanfaatan ekspresi budaya tradisional secara komersil tanpa izin, serta pemanfaatan ekspresi budaya tradisional yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh kustodian dapat merugikan kustodian ekspresi budaya tradisional.
Kurun waktu 10 tahun terakhir ini, sudah banyak klaim budaya oleh pihak asing. Maraknya klaim ini bisa dilihat dari berkembangnya ekonomi kreatif. Ekonomi yang mengandalkan konten inovasi, bukan teknologi tinggi. Sehingga kini sumber-sumber kreativitas memiliki nilai komersil, salah satunya budaya tradisional. Oleh karena itu klaim-klaim yang sering beredar biasanya berdasarkan pada adanya keuntungan. Misal di negara tetangga, kita mendengar Reog dan lagu Rasa Sayange yang diaku oleh mereka itu sebagai promosi wisata untuk meningkatkan kunjungan wisatawan luar negeri. Beberapa tahun yang lalu sempat sebuah brand ternama mengeluarkan seri batik, mulai dari jaket, topi hingga sepatu bermotif batik.
Jadi sumber-sumber inovasi dapat diperoleh dari ekspresi budaya tradisional dan indonesia yang memiliki keragaman budaya yang tinggi tentu sering menjadi korban. Jika ada ‘pencurian’ dan klaim, lalu bagaimana kita bisa melindungi budaya tradisional?
Beberapa tahun yang lalu juga, Pemerintah Kota Solo mendaftarkan motif batik mereka ke Dirjen HKI agar tidak ada klaim dari pihak asing. Sepintas ini tindakan yang jeli ketika maraknya klaim sepihak oleh pihak asing, tapi ada beberapa pertanyaan dari tindakan tersebut.
- Berapa anggaran yang harus dikeluarkan oleh Pemerintah Kota untuk mendaftarkan motif tersebut? Berapa banyak anggaran yang harus dikeluarkan oleh Indonesia, dengan jutaan mungkin lebih ekspresi budaya tradisional (EBT), untuk mengurusi pendaftaran HKI? Sangat besar.
- Jika ada daerah lain yang memiliki motif yang sama atau mirip dengan motif di daerah lain, apakah tidak akan timbul perpecahan karena justru akan terjadi saling klaim dengan daerah lain. Karena seringkali komunitas budaya itu lintas batas administrasi. Apalagi pendaftaran HKI ini juga punya nilai komersil.
Karena beberapa potensi masalah yang mungkin terjadi, dikajilah sebuah perangkat hukum dan perundang-undangan yang bisa diterapkan untuk melindungi budaya Indonesia. Lalu keluarlah konsep NCHSL, Nusantara Cultural Heritage State License. Sebuah konsep perlindungan budaya dengan negara sebagai pemegang lisensinya.
Pengajuan NCHSL
NCHSL (Nusantara Cultural Heritage State License) merupakan sebuah konsep perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional di Indonesia. Konsep tersebut diajukan oleh IACI (Indonesian Archipelago Cultural Initiatives) sebagai sebuah upaya untuk melindungi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional dari eksploitasi komersil dan pencurian oleh pihak-pihak asing. Belum adanya perundang-undangan yang secara tegas mengatur penggunaan ekspresi budaya tradisional akan menambah panjang daftar pencurian dan eksploitasi komersil ekspresi budaya tradisional yang kita miliki. Ketika ekspresi budaya tradisional yang kita miliki hilang atau diklaim oleh pihak lain, maka identitas sebuah bangsa Indonesia akan ikut menghilang. Hal ini sangat membahayakan bagi kesatuan dan kedaulatan bangsa.
Perlindungan Aspek Budaya Saat ini
Upaya perlindungan hukum terhadap ekspresi budaya tradisional hingga saat ini belum pernah diatur secara jelas. Kepemilikan terhadap suatu properti tertentu lebih mudah bila dikaitkan dengan konsep kekayaan intelektual. Bukan berarti keduanya memiliki kesamaan konseptual tentang dasar kepemilikan atas properti tetapi hanya karena pengaturan kekayaan intelektual sudah lebih dulu ada dan mudah dalam proses penerapannya karena hanya menyangkut satu individu saja. Padahal sudah jelas keduanya sangat berbeda. Walaupun upaya tersebut sudah mulai terealisasi lewat Undang-Undang Hak Cipta No 28 Tahun 2014, namun peraturan yang mengatur lebih jelas soal penggunaan ekspresi budaya tradisional belum terealisasi. Hal ini juga terjadi dalam lingkup internasional, WIPO (World Intellectual Property Organization), sebuah lembaga dunia yang mengatur kekayaan intelektual, berusaha mengakomodasi upaya-upaya perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional dengan membuat sebuah draft perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional. Namun upaya tersebut tidak mencukupi kebutuhan perlindungan dan pengembangan budaya tradisional bagi negara-negara yang memiliki keragaman budaya yang tinggi, seperti Indonesia.
Maka sebagai langkah awal, perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional dapat dilakukan dengan cara menyerahkan kepemilikan ekspresi budaya tradisional kepada negara. Dengan harapan akan menumbuhkan rasa kepemilikan bersama, sehingga kita dapat terhindar dari proses disintegrasi bangsa. Perlindungan yang dilakukan oleh negara nantinya akan bersifat mengatur perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional.
Perjuangan untuk perlindungan budaya melalui NCHSL ini telah dilakukan melalui berbagai kerja sama dengan partisipasi dengan berbagai lembaga formal, seperti Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia yang pernah mengadakan workshop bersama dengan WIPO di Bandung, 26 November 2010 dan kemudian pertemuan-pertemuan formal yang melibatkan berbagai kementerian negara, seperti Kementerian Riset & Teknologi, Kementerian Budaya & Pariwisata, termasuk berbagai instansi kependidikan di Bogor, 25-27 Maret 2011 yang merekomendasikan pembentukan basis data dan pencatatan yang ter-integrasi sebagai satu bentuk perlindungan, sebagaimana yang pernah didiskusikan pula bersama Kementerian Budaya & Pariwisata Republik Indonesia di Jakarta, 21 Desember 2010.
Mari Mengajukan!
Seiring dengan perkembangan upaya perlindungan budaya tradisi, para akademisi Hak Kekayaan Intelektual menyusun Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pengetahuan Tadisional dan Ekspresi Budaya Tradisional (RUU PT-EBT) yang diketuai oleh Prof. Agus Sardjono, Guru Besar HKI Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.
Dalam RUU PT-EBT terdapat pasal yang mengatur definisi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional, serta pemanfaatan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional, terutama oleh pihak asing. RUU Perlindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional dapat menjawab keraguan akan perlunya UU yang dapat melindungi Pengetahuan dan Ekspresi Budaya Tradisional karena dengan jelas mendefinisikan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional dan menjembatani perbedaan konsep kepemilikan intelektual dengan kepemilikan pada Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional, yang dalam hal ini akan dimiliki oleh negara lewat sebuah lembaga (adat). Selain itu, penggunaan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional oleh warga negara Indonesia untuk penelitian, pendidikan, dan pertunjukan yang tidak komersil dapat menggunakan langsung tanpa persetujuan lembaga tersebut, sehingga budaya indonesia dapat terus berkembang.
sumber:
Tautan yang dikaji untuk NCHSL dan RUU PT-EBT
http://budaya-indonesia.org/Perlindungan-Budaya
http://budaya-indonesia.org/Rancangan-Naskah-Akademik
Rancangan Undang-Undang Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional
Info Lanjut:
Tidak Ada Komentar