Sabdha Jati, Serat Penuntun Kehidupan
Selamat Hari Buku Internasional! Buku adalah jendela dunia, ungkapan yang seringkali kita dengar untuk memotivasi masyarakat untuk membaca. Ya memang, dengan membaca, pikiran kita akan terbuka dan meningkatkan pemahaman kita akan kehidupan dan pengetahuan. Di Hari Buku Internasional, infobudaya akan berbagi tentang serat kuno, Serat Sabdha Jati. Sebuah serat yang memberikan nasihat-nasihat kehidupan yang ditulis oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita pada 27 Oktober 1873.
Serat ini menggambarkan pesan tentang dorongan berbuat kebaikan dan kebajikan untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan. Untuk mencapai cita-cita juga harus diiringi dengan niat dan usaha yang sungguh-sungguh.
Manusia senantiasa harus mawas diri, prihatin, bersabar, introspeksi diri. Jika hal ini dilanggar maka akan mengalami kehancuran, kesulitan, penderitaan dan godaan. Hal ini tentu akan menjauhkan diri dan melupakan Tuhan. Dengan mendekatkan diri pada Tuhan, berusaha dengan tekun maka kita akan mendapatkan kebahagiaan dan kecukupan hidup.
Berikut isi dari Serat Sabdha Jati dalam bahasa Jawa beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia:
Hawya pegat n gudiya ronging budyayu
Margane suk a basuki
Dimen luwar kang kinayun
Kalising panggawe sisip
ngkang taberi prihatos
Ulatna kang nganti bisane kepangguh
Galedehan kan g sayekti
Talitinen awya kleru
Larasen sajroning ati
Tumanggap dimen tumanggon
Pamanggone aneng pangesthi rahayu
Angayomi ing tyas wening
Eninging ati kang suwung
Nanging sejatining isi
Isine cipta sayektos
Lakonana klawan sabaraning kalbu
Lamun obah niniwasi
Kasusupan setan gundhul
Ambebidung nggawa kendhi
Isine rupiah kethon
Lamun nganti korup mring panggawe dudu
Dadi panggonaning iblis
Mlebu mring alam pakewuh
Ewuh mring pananing ati
Temah wuru kabesturon
Nora kengguh mring pamardi reh budyayu
Hayuning tyas sipat kuping
Kinepung panggawe rusuh
Lali pasihaning Gusti
Ginuntingan dening Hyang Manon
Parandene kabeh kang samya andulu
Ulap kalilipen wedhi
Akeh ingkang padha sujut
Kinira yen Jabaranil
Kautus dening Hyang Manon
Yeng kang uning marang sejatining dawuh
Kewuhan sajroning ati
Yen tiniru ora urus
Uripe kaesi-esi
Yen niruwa dadi asor
Nora ngandel marang gaibing Hyang Agung
Anggelar sakalir-kalir
Kalamun temen tinemu
Kabegjane anekani
Kamurahane Hyang Manon
Hanuhoni kabeh kang duwe panuwun
Yen temen-temen sayekti
Dewa aparing pitulung
Nora kurang sandhang bukti
Saciptanira kelakon
Ki Pujangga nyambi paraweh pitutur
Saka pengunahing Widi
Ambuka warananipun
Aling-aling kang ngalingi
Angilang satemah katon
Para jalma sajroning jaman pakewuh
Sudranira andadi
Rahurune saya ndarung
Keh tyas mirong murang margi
Kasekten wus nora katon
Katuwane winawas dahat matrenyuh
Kenyaming sasmita sayekti
Sanityasa tyas malatkunt
Kongas welase kepati
Sulaking jaman prihatos
Waluyane benjang lamun ana wiku
Memuji ngesthi sawiji
Sabuk tebu lir majenum
Galibedan tudang tuding
Anacahken sakehing wong
Iku lagi sirap jaman Kala Bendu
Kala Suba kang gumanti
Wong cilik bisa gumuyu
Nora kurang sandhang bukti
Sedyane kabeh kelakon
Pandulune Ki Pujangga durung kemput
Mulur lir benang tinarik
Nanging kaseranging ngumur
Andungkap kasidan jati
Mulih mring jatining enggon
Amung kurang wolung ari kang kadulu
Tamating pati patitis
Wus katon neng lokil makpul
Angumpul ing madya ari
Amerengi Sri Budha Pon
Tanggal kaping lima antarane luhur
Selaning tahun Jimakir
Taluhu marjayeng janggur
Sengara winduning pati
Netepi ngumpul sak enggon
Tanggal 5 bulan Sela
Cinitra ri budha kaping wolulikur
Sawal ing tahun Jimakir
Candraning warsa pinetung
Sembah mekswa pejangga ji
Ki Pujangga pamit layoti
Terjemahan:
Jangan berhenti selalulah berusaha berbuat kebajikan,
agar mendapat kegembiraan serta keselamatan serta tercapai segala cita-cita,
terhindar dari perbuatan yang bukan-bukan, caranya haruslah gemar prihatin.
Dalam hidup keprihatinan ini pandanglah dengan seksama,
intropeksi, telitilah jangan sampai salah, endapkan di dalam hati,
agar mudah menanggapi sesuatu.
Dapatnya demikian kalau senantiasa mendambakan kebaikan,
mengendapkan pikiran, dalam mawas diri sehingga seolah-olah hati ini kosong,
namun sebenarnya akan menemukan cipta yang sejati.
Segalanya itu harus dijalankan dengan penuh kesabaran.
Sebab jika bergeser (dari hidup yang penuh kebajikan)
akan menderita kehancuran. Kemasukan setan gundul,
yang menggoda membawa kendi berisi uang banyak.
Bila terpengaruh akan perbuatan yang bukan-bukan,
sudah jelas akan menjadi sarang iblis, senantiasa mendapatkan kesulitas-kesulitan, kerepotan-kerepotan, tidak dapat berbuat dengan itikad hati yang baik,
seolah-olah mabuk kepayang.
Bila sudah terlanjur demikian tidak tertarik terhadap perbuatan
yang menuju kepada kebajikan. Segala yang baik-baik lari dari dirinya,
sebab sudah diliputi perbuatan dan pikiran yang jelek.
Sudah melupakan Tuhannya. Ajaran-Nya sudah musnah berkeping-keping.
Namun demikian yang melihat, bagaikan matanya kemasukan pasir,
tidak dapat membedakan yang baik dan yang jahat, sehingga
yang jahat disukai dianggap utusan Tuhan.
Namun bagi yang bijaksana, sebenarnya repot di dalam pikiran
melihat contoh-contoh tersebut. Bila diikuti hidupnya akan
tercela akhirnya menjadi sengsara.
Itu artinya tidak percaya kepada Tuhan, yang menitahkan bumi dan
langit, siapa yang berusaha dengan setekun-tekunnya akan mendapatkan
kebahagiaan. Karena Tuhan itu Maha Pemurah adanya.
Segala permintaan umat-Nya akan selalu diberi, bila dilakukan dengan setulus hati.
Tuhan akan selalu memberi pertolongan, sandang pangan tercukupi
segala cita-cita dan kehendaknya tercapai.
Sambil memberi petuah Ki Pujangga juga akan membuka selubung
yang termasuk rahasia Tuhan, sehingga dapat diketahui.
Manusia-manusia yang hidup di dalam zaman kerepotan,
cenderung meningkatnya perbuatan-perbuatan tercela,
makin menjadi-jadi, banyak pikiran-pikiran yang tidak berjalan
di atas riil kebenaran, keagungan jiwa sudah tidak tampak.
Lama kelamaan makin menimbulkan perasaan prihatin, merasakan ramalan tersebut,
senantiasa merenung diri melihat zaman penuh keprihatinan tersebut.
Zaman repot itu akan selesai kelak bila sudah mencapai tahun 1877
(wiku=7, memuji=7, ngesthi=8, sawiji=1; bertepatan dengan tahun 1945 Masehi).
Ada orang yang berikat pinggang tebu perbuatannya seperti orang gila,
hilir mudik menunjuk kian kemari, menghitung banyaknya orang.
Di situlah baru selesai Zaman Kala Bendu. Diganti dengan Zaman Kala Suba.
Di mana diramalkan rakyat kecil bersuka ria, tidak kekurangan sandang dan makan
seluruh kehendak dan cita-citanya tercapai.
Sayang sekali “pengelihatan” Sang Pujangga belum sampai selesai,
bagaikan menarik benang dari ikatannya.
Namun karena umur sudah tua sudah merasa hampir
datang saatnya meninggalkan dunia yang fana ini.
Yang terlihat hanya kurang 8 hari lagi, sudah sampai waktunya,
kembali menghadap Tuhannya. Tepatnya pada hari Rabu Pon.
(Dulkangidah) tahun Jimakir Wuku Tolu,
Windu Sengara (atau tanggal 24 Desember 1873)
kira-kira waktu Lohor, itulah saat yang ditentukan
Sang Pujangga kembali menghadap Tuhan.
Karya ini ditulis dihari Rabu tanggal 28 Sawal tahun Jimakir 1802.
(sembah=2, mokswa=0, pujangga=8, ji=1; bertepatan dengan tahun 1873 Masehi).
seratanipoen Raden Ngabehi Ronggowarsito
Sumber:
Informasi lebih lanjut:
Perpustakaan Digital dan Budaya Indonesia
Tidak Ada Komentar