Karya Remaja Masa Kini melalui Pementasan Sidhyatra
“Kita tidak dapat memilih dari keluarga mana kita hadir, namun kita dapat memilih akan seperti apa jalan kita di kemudian hari”
Kutipan tersebut berulang kali terdengar dalam pementasan Sidhayatra. Tidak hanya dalam pementasan, kalimat tersebut juga tertulis di bagian dalam booklet pementasan yang sebelumnya sudah dibagikan. Sidhayatra merupakan pementasan empat jurusan dari siswa/i SMKI Yogyakarta di Concert Hall TBY pada tanggal 16 Mei 2018. Sesuai dengan jurusannya yaitu tari, karawitan, teater dan pedhalangan, malam itu mereka melakukan kolaborasi yang memadukan keempatnya.
Pementasan di mulai dengan hadirnya salah satu tokoh wayang kulit di layar belakang. Tokoh tersebut adalah Kresna, ia berputar mengelilingi sebuah telur. Secara singkat sang dhalang mengatakan bahwa telur adalah lambang kehidupan. Telur tercipta tanpa tahu apa-apa namun pada suatu hari nanti ia akan keluar untuk menikmati kuasa dunia. Kemudian setelah itu disusul oleh sekelompok penari laki-laki membawa replika telur.
Selanjutnya, di ujung panggung sebelah kiri, muncul tiga orang pemain memerankan bapak, ibu dan anak. Sang anak yang bernama Badhes pamit hendak berangkat ke sekolah. Dalam kehidupannya di sekolah ia mendekati seorang perempuan yang memiliki hobi menulis dan menari. Dari interaksi mereka muncul keinginan Badhes untuk bergelut di dunia seni. Akan tetapi hal tersebut ditolak oleh bapaknya. Badhes menentang keputusan tersebut, ia tetap bersikukuh menerjunkan dirinya di dunia seni. Sampai pada akhir pementasan ia mengatakan bahwa ini adalah kisahku.
Pementasan yang berdurasi satu setengah jam tersebut menggambarkan suara hati dari para pemain dan tim produksi. Meskipun secara keseluruhan alur cerita dibawakan dengan drama namun unsur tari dan wayang masuk di sela-sela pementasan Sidhayatra. Kedua unsur tersebut hadir mempertegas jalannya cerita.
Seluruh tim produksi mulai dari, tim artistik hingga pemain merupakan siswa/i SMKI Yogyakarta. Mereka adalah remaja yang sedang tumbuh dengan segala keinginan dalam dirinya. Bagaikan kehidupan nyata, kadangkala orang tua memaksakan kehendak mereka tanpa memikirkan minat seorang anak. Padahal hal yang dipaksakan tersebut bisa jadi justru berdampak tidak baik. Hal tersebut mereka gambarkan melalui sebuah telur.
Telur merupakan sebuah awal mula dari kehidupan. Untuk melahirkan seekor unggas yang sempurna, pecahnya cangkang telur harus alami dengan proses kekuatan dari dalam. Apabila cangkang telur dipecahkan secara paksa dari luar, maka isi yang keluar dari sebuah telur tentu tidak berwujud.
Secara keseluruhan pementasan ini dapat dikatakan berhasil. Meskipun kursi penonton tidak seluruhnya penuh. Ada kemungkinan masyarakat lebih tertarik menikmati Art Jog yang lebih terkenal baik dari segi penyelenggara maupun penampilnya. Apalagi mengingat lokasi pementasannya tidak terlalu jauh dengan tempat diselenggarakan Art Jog. Komponen-komponen lain yang menandakan keberhasilannya bisa dilihat dari kualitas pertunjukannya.
Dari segi teknik kepenarian, mereka dapat membawakan dengan sangat ajeg meskipun ada beberapa penari yang terlihat kurang kompak. Demikian pula pada kualitas drama dan musik. Layaknya tabuhan karawitan gaya Yogyakarta yang cenderung keras dan patah-patah, malam itu mereka tidak hanya mengiringi namun juga mampu membangun suasana cerita dalam pertunjukan.
Sebagai para remaja yang biasanya dianggap labil, mereka sudah dapat menghasilkan karya yang penuh filosofi. Karya yang mereka buat bukan hanya hingar bingar tanpa maksud dan tujuan. Mereka menyuarakan sebuah keinginan mereka akan kebebasan dan pemberontakan. Akan tetapi kebebasan yang mereka maksud bukan sebuah kebebasan tanpa arah. Mereka ingin menunjukan bahwa hidup dan menghidupi seni adalah pilihan masing-masing manusia.
Mereka mengintrepertasikan perjalanan Badhes mengikuti minatnya adalah sebuah perjalanan suci seperti yang ditulis dalam booklet mapun poster “Sidhayatra (Perjalanan Suci). Dalam sejarah sesungguhnya, kata Sidhayatra merupakan sebutan untuk perjalanan suci Dapunta Hyang Sri Jayanaga. Perjalanan tersebut membawa ribuan tentara dan perbekalan lengkap. Jika dalam sejarah mereka menaklukkan beberapa daerah untuk kejayaan kerajaan Sriwijaya, dalam hal ini Badhes menaklukan ego orang tuanya untuk memenangkan keinginannya.
Selain dari segi pengemasan cerita, patut digaris bawahi pula bahwa pementasan tersebut bukanlah sebuah program kerja wajib dari sekolah. Itu hanyalah sebuah pementasan murni hasil inisiatif siswa/i SMKI Yogyakarta yang saat ini duduk di kelas 11. Mereka menamakan kepanitiaan tersebut dengan Nang Ning Nong Production. Apresiasi tambahan diberikan mereka karena telah merelakan waktu senggangnya untuk berkarya di bidang seni. Hal tersebut merupakan sesuatu yang pantas ditiru oleh remaja lain.
Tidak Ada Komentar