Bencana Alam Dalam Catatan Budaya
Indonesia merupakan salah satu negara yang dianugerahi banyak keindahan dan kekayaan. Mulai dari morfologi permukaannya yang bervariasi menawarkan keindahan alam baik pegunungan yang sejuk maupun pantai-pantai cantik yang memanjakan mata, hingga melimpahnya sumber daya energi dan mineral serta tanahnya yang subur dapat ditumbuhi berbagai macam tanaman menjadi sumber kehidupan bagi makhluk hidup. Seakan menyeimbangi hal tersebut, negeri ini juga dianugerahi berbagai macam potensi bencana alam. Kondisi geografisnya yang terletak di dekat zona subduksi antara lempeng Eurasia dan Indo-Australia membuat Indonesia tidak hanya rawan terjadi gempa bumi, tetapi juga diberkahi 127 gunung api aktif yang tersebar di Pulau Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara hingga Pulau Sulawesi.
Kondisi Indonesia yang rawan bencana ini sudah disadari oleh nenek moyang kita. Banyak catatan-catatan sejarah yang ditemukan menceritakan tentang bencana alam yang melanda Indonesia, misalnya Babad Lombok. Babad Lombok menceritakan asal muasal masyarakat Lombok, sejak jaman nabi hingga jaman kerajaan. Pada bait ke -275 dari 1.218 menceritakan kejadian gempa di Lombok pada masa lampau.
“Pitung dina lami nira,
Gatuh hiku hangebeki pertiwi,
Hanerus masing batu dendeng kang hanyut,
Wong ngipun kabeh hing paliya,
Sawenenh munggah hing ngukir,”
Syair tersebut memiliki arti “tujuh hari lamanya gempa dahsyat meruyak bumi, terdampar di leneng (lenek), diseret oleh batu gunung yang hanyut, manusia berlari semua, sebagian lari ke bukit”.
Babad Lombok juga mencatat letusan Gunung Samalas yang diperkirakan terjadi pada tahun 1257 atau 1258 pada bait ke-274. Bait tersebut menggambarkan letusan Gunung Samalas menimbulkan banjir batu disertai gemuruh dan banjir lumpur yang menghanyutkan rumah sehingga banyak penduduk yang meninggal. Beberapa bencana alam lainnya seperti gempa dan tanah longsor juga tertuang dalam Babad Lombok pada bait 270-281. Mulai dari penyebab bencana, apa yang terjadi pada masyarakat pada saat bencana dan dampak yang ditimbulkan juga tercatat dalam Babad Lombok.
Sumber : Pinterest
Menarik untuk diperhatikan, hampir semua bencana yang tercatat di Babad Lombok kembali terjadi di Lombok dalam 20 tahun terakhir ini. Namun sayang, masyarakat setempat hanya menganggap catatan tersebut sebagai dongeng belaka.
Hal serupa juga terjadi di Palu. Belum lama ini Palu dilanda gempa berkekuatan 7,4 yang menimbulkan likuifaksi atau pergerakan tanah yang berdampak pada daerah seluas 180 hektar. Fenomena serupa juga pernah terjadi pada tahun 2012, tidak hanya menggeser rumah tetapi bukit pun ikut tergeser. Rupanya fenomena tersebut tidak asing lagi bagi penduduk asli, khususnya Suku Kaili yang mengenalnya dengan istilah Nalodo. Nalodo yang berarti tanah gembur atau tanah yang menghisap. Mengetahui dari dampak Nalodo yang membahayakan, Suku Kaili yang sudah mengetahui wilayah mana saja yang dianggap rawan terjadi Nalodo tidak akan menempati kawasan tersebut dan memilih daerah lain yang lebih aman untuk menetap.
Sumber : FIickr
Dari beberapa kasus tersebut kita dapat melihat bahwa fenomena bencana alam di Indonesia yang cenderung berulang terus menimbulkan kerugian karena kita melupakan catatan-catatan dan pengetahuan yang tersimpan di balik kode nusantara yang telah diwariskan turun-temurun oleh nenek moyang. Padahal jika sedikit saja kita mau peduli, kerugian materil maupun jiwa tentunya dapat kita minimalisir dan kita dapat hidup damai berdampingan dengan alam.
Sumber :
Sastra Kuno Ceritakan Bencana Masa Lampau di Lombok (Bagian 2)
http://telusur.metrotvnews.com/news-telusur/DkqqnwZk-likuifaksi-dan-kisah-nalodo-si-tanah-pengisap
Tidak Ada Komentar