Belajar Mencintai dan Menghargai Laut dengan Kearifan Lokal
Belum lama ini kembali viral tentang unggahan wisatawan asing yang berkunjung ke Bali. Dia mengunggah kondisi pantai Bali yang cantik, namun sayang kotor oleh sampah plastik. Hal tersebut harusnya membuat kita sebagai warga Indonesia malu, pantai-pantai kita yang terkenal oleh keindahannya tercemar oleh sampah plastik di sana-sini. Belum lagi banyak pemberitaan mengenai kerusakan dan eksploitasi laut yang berlebihan dari berbagai daerah. Tapi tenang saja, tidak semua pantai cantik kita tercemar, masih banyak pantai-pantai indah yang tetap terjaga keindahannya oleh masyarakat-masyarakat adat yang masih memegang teguh tradisinya.
Salah satunya adalah ritual Sasi Nggama yang dilakukan oleh masyarakat adat di Kabupaten Kaimana, Provinsi Papua Barat. Khususnya di Kampung Siawatan Distrik Teluk Etna. Prosesi tersebut merupakan salah satu budaya dari Suku Kowai yang ada di Kampung Siawatan. Sasi Nggama merupakan bentuk penjagaan atau konservasi tradisional masyarakat adat terhadap sumber daya alam di laut.
Prosesi sakral tersebut dimulai dengan pembukaan kembali wilayah laut di sekitar Pulau Kayumerah untuk pemanfaatan perikanan. Sasi dilaksanakan dengan berfokus pada pemanfaatan biota laut, seperti lola (Trochus niloticus), teripang (Holothuroidea), dan siput batulaga (Turbo marmoratus). Dalam tradisi tersebut, masyarakat dilarang mengambil lola, teripang, dan batulaga selama 11 bulan dalam setahun. Hanya pada masa tertentu, umumnya musim angin barat antara Maret dan Mei, masyarakat boleh memanen hewan-hewan laut bernilai komersial tinggi. Buka Sasi (larangan) dilakukan selama dua minggu penuh, yang boleh diambil hanya hewan berukuran besar atau ukuran tertentu untuk memberi kesempatan pada hewan itu berkembang biak. Menarik sekali bukan?
Lain lagi dengan ritual Soro Nei yang dilaksanakan oleh masyarakat di Teluk Walenga, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Ritual tersebut dilakukan untuk menyelamatkan paus agar tidak terdampar. Dimulai dengan membuat bunyi-bunyian di bawah laut untuk membawa ke pintu keluar palung. Kemudian ditambah dengan dengan lantunan doa dan sejumlah sarana pengantarnya. Secara harfiah seperti spirit memberi makan dan memanggilnya menuju laut. Menggunakan sejumlah sarana seperti kapas, ikan kering putih, dan tuak atau air deresan bunga kelapa atau lontar.
Ritual tersebut dilakukan untuk menghalau paus-paus biru yang hendak ke teluk. Di ujung teluk ada kanal seperti pintu masuk mirip selokan. Ketika paus masuk “kolam” ini di sekelilingnya tebing dalam laut berbentuk lingkaran, kadang muncul daratan kalau surut. Jadi paus dapat terjebak dalam selokan itu. Masyarakat setempat meyakini Paus Biru tidak boleh diburu dan kehadiran paus tersebut diterjemahkan sebagai dimulainya masa musim tanah yang baik untuk bertani.
Lagi-lagi kita dibuat terpesona dengan kebijaksanaan dan kearifan masyarakat di daerah yang masih menjunjung nilai budayanya. Mereka diberikan begitu banyak kekayaan alam di sekelilingnya, yang jika mereka mau bisa saja mereka gunakan untuk keperluan dirinya sendiri. Namun, mereka memiliki kesadaran untuk menghargai dan menjaga alam agar dapat hidup berdampingan dengan damai. Bagaimana dengan kita? Sudah sejauh mana upaya kita untuk menjaga keindahan negeri ini?
Sumber:
Info Lanjut:
PDBI – Sasi Nggama, Perlindungan Adat di Kaimana untuk Sumber Daya Laut
Tidak Ada Komentar