Ludruk, Teater Tradisional Masyarakat Jawa Timur
Mulai kapan dan di mana Ludruk pertama kali dimainkan belum diketahui pasti. Namun, menurut beberapa orang bahwa pertunjukan yang disebut Ludruk telah ada sejak jaman Majapahit abad ke-13. Laporan tertulis tercatat bahwa saksi mata pertama yang menonton pertunjukan Ludruk baru ditemukan tahun 1822. Saat itu pertunjukan Ludruk dalam pementasannya terdapat dua elemen penting, yaitu satu pemain dagelan dan seorang pemain waria. Dan sampai sekarang, kedua elemen tersebut menjadi yang dominan dalam pementasan Ludruk.
Kata Ludruk sendiri berasal dari bahasa Jawa (ngoko) yang berarti badut. Secara etimologi, Ludruk berasal dari kata molo-molo dan gedrak-gedruk. Molo-molo berarti mulutnya penuh dengan tembakau sugi. Kata molo sendiri adalah suatu kegiatan pada saat berbicara masih terdapat tembakau di mulut pembicara, kegiatan itu seolah-olah akan dimuntahkan dan setelah itu keluar kata-kata kidungan dan dialog. Sedangkan gedrak-gedruk berarti kakinya menghentak-hentak pada saat menari di panggung.
Pertunjukan Ludruk dibuka dengan menampilkan Tari Remo. Tari Remo merupakan tarian tradisional Jawa Timur yang menggambarkan keberanian seorang pengeran yang berjuang di medan perang. Pertunjukan dilanjutkan dengan kidungan, sebuah perpaduan seni sastra dan musik yang berupa seni bertutur dengan iringan musik. Kidungan dibawakan oleh pelawak atau lakon dalam Ludruk. Kidungan berbentuk pantun bahasa Jawa atau Parikan dengan diiringi musik karawitan dari gamelan. Biasanya terdapat pesan-pesan mengenai pendidikan, sosial, politik, dan lain sebagainya.
Pementasan kidung selesai kemudian masuk ke dalam acara intinya, yaitu pementasan drama yang membawakan sebuah lakon cerita. Cerita yang diangkat dalam sebuah pementasan berasal dari cerita sehari-hari, cerita perjuangan, kondisi sosial politik, dan sebagainya. Latar yang dibawakan dalam sebuah pementasan adalah saat ini. Cerita yang dibawakan pun dikemas dengan begitu ringan dan ditampilkan dengan jenaka dan bahasa yang sering digunakan dalam pertunjukan adalah bahasa Jawa. Hal itu lah yang membuat Ludruk diterima dan digemari oleh masyarakat, khususnya masyarakat Jawa Timur.
Ada salah satu fakta yang menarik dari Ludruk ini, yaitu terkadang pementasan Ludruk tidak menggunakan naskah. Oleh karena itu, pemain Ludruk harus bisa berimprovisasi terhadap dialog atau akting yang dimainkannya.
Data diolah dari berbagai sumber.
Data Terkait:
Tidak Ada Komentar