Tolak Bala Melalui Kebo-Keboan
Banyuwangi kini menjadi salah satu destinasi wisata budaya yang favorit bagi wisatawan baik mancanegara maupun domestik. Mengangkat budaya tradisi sebagai tema wisata menjadi keunggulan Banyuwangi. Salah satu budaya tradisi yang ditampilkan, yaitu upacara tradisional Kebo-keboan.
Tradisi Kebo-keboan lahir sebagai bentuk respon masyarakat dalam mengatasi pagebluk. Pagebluk adalah berbagai macam penyakit yang mengakibatkan kematian, serangan hama penyakit tanaman pertanian sehingga mengalami gagal panen. Dan menirukan perilaku kerbau dipilih tidak terlepas dari latar belakang desa yang sebagian besar penduduknya bekerja di bidang pertanian.
Upacara tradisional Kebo-keboan merupakan upacara tradisi bersih desa dengan maksud sebagai suatu kebiasaan selamatan desa yang bertujuan untuk memohon kesuburan tanah, hasil panen melimpah, lingkungan yang aman, ketenangan hidup, dan terhindar dari malapetaka.
Kebo-keboan digelar pada rentang tanggal 1 sampai 10 Sura (Muharam) dan pelaksanaannya pada Hari Minggu tanpa melihat hari pasaran Jawa. Hari Minggu dipilih agar seluruh masyarakat dapat mengikutinya, sebab Minggu adalah hari libur. Dan bulan Sura dipilih dengan pertimbangan bahwa menurut kepercayaan orang Jawa, bulan Sura dianggap sebagai bulan yang keramat.
Pada pelaksanaan upacara Kebo-keboan diawali dengan diadakannya kerja bakti untuk membersihkan lingkungan rumah dan desa yang dilakukan satu minggu sebelum pelaksanaan Kebo-keboan. Lantas sehari menjelang Kebo-keboan, para ibu bersama-sama menyiapkan sesaji yang berupa tumpeng, peras, dan ingkung.
Selain itu, mereka juga menyiapkan perlengkapan upacara seperti para bungkil, singkal, pacul, peras, pitung tawar, beras, pisang, kelapa, dan bibit tanaman padi. Sementara malam sebelumnya, para pemuda tak ketinggalan dalam mempersiapkan berbagai macam hasil palawija, seperti pisang, tebu, ketela pohon, jagung, pala gumatung, pala kependhem, dan pala kesimpar. Seluruh tanaman tersebut akan ditanam di sepanjang jalan desa.
Tidak hanya hasil bumi, masyarakat juga menyiapkan bendungan air yang akan digunakan mengairi tanaman palawija.
Pada pagi harinya, setiap rumah harus sudah menyiapkan sesaji berupa golong, kupat lepet, dan aneka jenang, serta sesaji untuk selamat desa yang berupa tumpeng, peras, air kendhi, kinang ayu, ayam panggang, aneka jenang dan kelengkapannya. Satu jam menjelang acara puncak, masyarakat menggelar tikar di depan rumah dan meletakkan sesaji di atas gelaran tikar tersebut.
Acara diawali dengan laporan yang mengutarakan maksud dan tujuan diadakan upacara tradisional Kebo-keboan. Lantas dilanjutkan ikrar yang dipimpin oleh sesepuh desa dan doa yang dipimpin oleh modin. Pembacaan selesai dilanjutkan dengan menyantap sesaji yang telah disediakan bersama-sama, dengan menikmati makanan sesaji ini maka akan mendapatkan keberkahan.
Acara dilanjutkan dengan pawai ider bumi, yaitu berupa arak-arakan mengelilingi desa dengan membawa lambang Dewi Sri beserta pengiringnya dan kebo-keboan, pawang, petani pembawa sesaji, musik hadrah, dan barongan.
Pawai ider bumi dimulai lalu pawang membaca mantra dan mengusapkan pitung tawar pada semua kebo-keboan serta pengiringnya sebagai bentuk tolak bala. Rombongan berjalan sampai di bendungan air yang kemudian jagatirta membuka bendungan tersebut agar air mengalir ke sepanjang jalan desa yang telah ditanami pohon.
Perjalanan dilanjutkan ke area persawahan dan di sinilah Kebo-keboan memulai aksi layaknya Kerbau yang membajak sawah dan berkubang di sawah. Pembajakan sawah dirasa cukup kemudian diteruskan dengan menanam benih padi. Di area persawahan biasanya Kebo-keboan mengalami kesurupan dan mengejar siapa saja yang mengganggu dan mengambil benih padi yang baru ditanam.
Namun sebaliknya, masyarakat justru berebut untuk mendapat benih padi yang baru ditanam karena dipercaya dapat digunakan sebagai tolak bala dan mendatangkan keuntungan, serta keberkahan. Kebo-keboan yang mengalami kesurupan dan mengejar masyarakat kemudian dibawa ke Petaunan untuk disadarkan dengan cara mengusap pitung tawar. Selanjutnya, yaitu pagelaran wayang kulit dengan lakon Sri Mulih, tokoh yang melambangkan padi dengan harapan masyarakat mendapatkan hasil panen padi yang melimpah.
Pelaksanaan upacara tradisional Kebo-keboan juga memiliki beberapa pantangan yang harus dihindari. Pertama, selama upacara berlangsung masyarakat tidak boleh mengganggu Kebo-keboan apalagi sedang mengalami kesurupan. Jika mereka mengganggu, maka Kebo-keboan akan marah dan mengamuk yang akan menimbulkan kekacauan jalannya upacara. Kedua, jumlah Kebo-keboan harus genap dengan minimal berjumlah empat atau dua pasang. Dan ketiga, upacara tradisional Kebo-keboan harus dilakukan setiap tahun, sebab jika tidak, maka mala petaka akan melanda desa.
Upacara tradisional Kebo-keboan merupakan wujud kebersamaan yang dilakukan masyarakat desa. Hal tersebut terlihat saat mereka bersama-sama mempersiapkan dan melaksanakan upacara tersebut. Upacara ini juga sebagai pengendali sosial yang terwujud dalam bentuk kepatuhan terhadap tata cara upacara dan beberapa pantangannya. Selain itu, tradisi ini sebagai media sosial untuk berkumpulnya masyarakat desa, serta menjadi norma sosial sebab mengandung norma-norma baik yang menyangkut nilai ekonomi, ritual, moral, estetis, dan teknologi.
Referensi:
Ernawati Purwaningsih, “Kebo-Keboan, Aset Budaya di Kabupaten Banyuwangi dalam Jurnal Jantra Volume II Tahun 2007”, Yogyakarta.
Data Terkait:
Tidak Ada Komentar