Padewakang, Cikal Bakal Lahirnya Pinisi
Siapa yang tidak kenal dengan kapal Pinisi? Kapal tradisional yang dimiliki oleh suku Bugis (Sulawesi Selatan). Kapal yang sudah lebih dari 100 tahun ini digunakan oleh suku Bugis untuk membawa barang dagangannya menjelajahi dunia.
Namun, tahukah kamu bahwa kapal Pinisi adalah hasil dari sebuah evolusi? Artinya kapal ini tidak tiba-tiba lahir dan dibentuk begitu saja, melainkan sudah ada kapal yang dibuat sebelumnya. Kapal tersebut adalah kapal Padewakang.
Kapal Padewakang dibuat sekitar abad ke-17 yang digunakan nenek moyang kita untuk membawa barang dagangan berupa rempah-rempah untuk dijual ke berbagai negara. Kapal ini juga menjadi kapal pertama nusantara yang berlayar ke benua Australia.
Kapal Padewakang memiliki ukuran yang lebih kecil daripada Pinisi, yaitu panjang 12 meter dengan lebar 3 meter dan tinggi 2 meter. Seluruh bahan atau material yang digunakan dalam membangun kapal ini pun tidak terdapat unsur logam sama sekali. Mulai dari lambung kapal, layar, sampai sambungan kapal.
Orang yang membuat kapal Padewakang disebut sebagai panrita lopi atau pengrajin kapal. Panrita lopi membuat bagian badan kapal dengan menyusun papan-papan dengan menggunakan teknik menyusun papan sama seperti membuat kapal berjenis baqgo, lete, palari, dan pinisi.
Bagian tengah badan kapal dipasang balok lunas atau tulang punggung yang kedua sisinya ditambahkan beberapa papan (papang tobo). Papan yang dipasang harus berjumlah ganjil dengan dimulai dari tujuh, sembilan, sebelas, dan seterusnya. Papan-papan yang digunakan berasal dari kayu bitti. Kayu khas daerah Sulawesi yang tidak dapat ditebang secara sembarang.
Rangka lambung pada kapal Padewakang juga terbuat dari kayu bitti. Jenis kayu ini dipilih karena memiliki struktur batang yang melengkung atau bengkok secara alami. Jadi lekukan-lekukan pada kapal tidak dibuat secara sengja.
Papan-papan yang disusun pada kapal disambung menggunakan pasak kayu yang berasal dari kayu ulin. Sebab tidak ada satupun unsur logam pada kapal Padewakang, maka menyusun semua bagian kapal ini seperti seni memasang pasak. Panrita lopi harus memasang ratusan pasak dengan posisi tidak boleh bersinggungan maupun berpotongan dengan pasak lainnya.
Memasang bagian badan kapal selesai lantas dilanjutkan dengan memasang bagian layarnya. Layar terbuat dari serat daun lanu (pohon gebang) muda, sejenis pohon lontar. Daun yang dipilih kemudian dikeringkan dan diurai menjadi helai-helai lembaran pita selebar 2 sentimeter. Helaian tersebut ditenun lalu dijahit sehingga menyambung dan pada setiap sisi layar diikat menggunakan tali ijuk agar layar semakin kuat.
Layar yang dihasilkan mempunyai bentuk segi empat khas Austronesia dengan jenis layar tanjaq. Istilah layar tanjaq diberikan sebab apabila layar diterpa oleh angin yang kencang maka bagian bawah layar akan menyerupai seperti orang menendang atau mattanjaq.
Sejak abad ke-19 ketika kapal-kapal Eropa masuk ke Nusantara, masyarakat khususnya panrita lopi mulai mengadopsi berbagai jenis dan bentuk ke kapal Padewakang. Dan pada akhirnya lahirlah kapal Pinisi sebagai sebuah wujud evolusi kapal Padewakang.
Saat ini kapal Padewakang sudah tidak lagi dibuat untuk digunakan melaut. Namun, masih dibuat hanya untuk keperluan pameran atau kegiatan-kegiatan tertentu saja.
Data diolah dari sumber: National Geographic | Kemdikbud | Tagar.id
Data Terkait:
Tidak Ada Komentar