Pesan Tersembunyi Dalam Tradisi Grebeg Sudiro
Perayaan Tahun Baru Imlek yang jatuh pada hari ini mengundang antusias masyarakat Tionghoa dalam menyambutnya. Tak terkecuali masyarakat Tionghoa di Kota Solo, Jawa Tengah. Solo menjadi salah satu pusat perkembangan budaya Jawa. Meski kental akan budaya Jawanya, kota ini pun terkenal ramah terhadap budaya lain. Beberapa tradisi pun mengalami akulturasi, seperti Grebeg Sudiro yang dilaksanakan masyarakat Solo keturunan Tionghoa – Jawa dalam menyambut Tahun Baru Imlek.
Tradisi Grebeg Sudiro ini pertama digelar pada tahun 2007. Perayaan ini merupakan pengembangan tradisi yang telah ada sebelumnya, yaitu tradisi Buk Teko. Buk Teko berasal dari kata “Buk” yang berarti tempat duduk dari semen di tepi jembatan atau di depan rumah, sedangkan kata “Teko” adalah poci, tempat air teh.
Tradisi ini merupakan tradisi syukuran menjelang Imlek dan sudah dirayakan semenjak Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono X (1893 – 1939). Grebeg Sudiro menjadi bukti tingginya kesadaran masyarakat untuk bergotong royong, serta menghilangkan stigma negatif rasial dengan jalur kultural. Pembauran budaya pada Grebeg Sudiro, menjadikan gelaran kesenian ini dapat diterima oleh masyarakat luas karena keunikannya.
Biasanya tradisi ini diadakan di Kampung Pecinan Solo yang diikuti oleh masyarakat Kelenteng Tien Kok Sie, Kelurahan Sudiroprajan, Jebres, dan Solo. Wilayah ini dikenal sebagai pemukiman etnis Tionghoa yang bermukim di Solo sejak puluhan hingga ratusan tahun yang lalu. Mereka membaur dan hidup berdampingan dengan masyarakat asli yang mayoritas berasal dari suku Jawa.
Pada tahun 2020, Grebeg Sudiro berlangsung pada tanggal 16 hingga 31 Januari mendatang. Adapun puncak acara dilaksanakan pada tanggal 19 Januari kemarin di Kawasan Pasar Gedhe, Solo. Beragam kegiatan turut memeriahkan Grebeg Sudiro 2020, mulai dari bazaar kuliner, bazaar produk kreatif, pertunjukan seni dan budaya, karnaval budaya, hingga perahu wisata. Tradisi ini semakin meriah dengan ribuan lampion yang menghiasi sudut kawasan Kota Lama Solo, mulai dari Gladak, Balai Kota, hingga Pasar Gedhe.
Melalui Grebeg Sudiro, masyarakat dapat merasakan rasa kesatuan yang diwujudkan dalam sebuah acara bersama. Tradisi ini juga membawa misi khusus bagi masyarakat, yaitu untuk menyampaikan pesan-pesan yang dikomunikasikan melalui simbol-simbol yang ada dalam gelaran budaya. Pada dasarnya, perayaan Grebeg Sudiro ini merupakan ritual perebutan hasil bumi dan makanan yang disusun dalam bentuk gunungan. Terdapat perebutan dua buah gunungan, yakni Gunungan Jaler yang berarti laki-laki dan Gunungan Estri yang berarti perempuan. Keduanya sangat kental bernuansa Jawa. Sedangkan pada kirab, terdapat Gunungan Kue Keranjang. Tradisi ini sesuai dengan filosofi Jawa “ora obah ora mamah” yang artinya jika tidak berusaha, maka tidak bisa makan. Sedangkan bentuk gunungan mengandung makna bahwa manusia sudah sepantasnya bersyukur kepada Sang Pencipta. Harmonisasi dalam kebhinekaan, itulah yang diangkat dalam tradisi Grebeg Sudiro untuk saling menghormati.
Solo berhasil menunjukan pamornya sebagai kota yang nyaman nan indah bersatu dalam keberagaman tradisi Grebeg Solo. Selain Grebeg Sudiro, ada juga Festival Imlek yang digelar di kawasan ini pada tanggal 20 – 24 Januari 2020.
Data Terkait:
Tidak Ada Komentar