Rambu Solo, Upacara Pemakaman Termahal di Dunia
Salah satu tempat wisata popular di Provinsi Sulawesi Selatan adalah Tana Toraja. Selain memiliki keindahan alam, dapat dilihat bahwa kebudayaan khas Suku Toraja yang hidup di dataran tinggi ini sangat unik seperti rumah adat Tongkonan, upacara pemakaman Rambu Solo, Pekuburan Goa Londa, dan Pekuburan Batu Lemo.
Berdasarkan mitos, nenek moyang asli suku Toraja adalah orang yang turun langsung dari surge dengan menggunakan tangga, di mana tangga tersebut berfungsi sebagai media komunikasi kepada Puang Matua (Tuhan). Nama “Toraja” pertama kali diberikan oleh suku Bugis Sindenreng yang menyebutkan bahwa penduduk setempat sebagai “Riaja”, memiliki makna orang yang tinggal di daerah pegunungan. Menurut versi lain, nama “Toraja” diambil dari kata “Toraya” yang berarti (“Tau”: orang dan “Raya” atau “Maraya”: besar). Penggabungan dua kata inilah diartikan sebagai “orang-orang hebat” atau “manusia mulia”, kemudian lebih sering dikenal dengan sebutan “Toraja.” Sementara kata “Tana” artinya penduduk atau wilayah, jika disatukan menjadi Tana Toraja.
Penduduk Toraja menganut “aluk” atau sebuah adat kepercayaan, aturan, dan ritual tradisional ketat yang diwariskan nenek moyang. Walaupun saat ini, mayoritan penduduk memeluk agama Protestan atau Katolik, tetapi sejumlah tradisi leluhur dan upacara ritual tetap dijalankan. Penduduk menjadikan pemisahan antara upacara dan ritual secara jelas terkait kehidupan dan kematian.
Upacara yang terkenal di Tana Toraja, yaitu Rambu Solo dan Rambu Tuka. Rambu Solo adalah upacara pemakaman, sedangkan Rambu Tuka adalah upacara merenovasi rumah adat. Pada Rambu Solo, masyarakat Toraja percaya tanpa adanya upacara ini, seseorang yang meninggal hanya dianggap seperti orang sakit, karenanya masih harus dirawat dan diperlakukan seperti orang hidup. Tanpa Rambu Solo juga diyakini akan memberikan kemalangan kepada orang-orang yang ditinggalkannya.
Upacara Rambu Solo adalah serangkaian kegiatan yang rumit, terkait ikatan adat dan tradisi setempat, serta memerlukan biaya yang tidak sedikit berkisar antara puluhan juta sampai ratusan juta rupiah. Itulah sebabnya, mengapa di Tana Toraja, orang-orang yang meninggal baru akan dimakamkan berbulan-bulan setelah kepergiannya. Pihak keluarga membutuhkan waktu untuk mengumpulkan dana dan melakukan berbagai persiapan lainnya. Selagi menunggu kesiapan upacara, jasad tersebut dibungkus menggunakan kain yang kemudian disimpan di dalam rumah leluhur atau tongkonan. Arwah orang yang meninggal dipercaya akan tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.
Dalam kepercayaan penduduk (Aluk To Dolo) memiliki prinsip, semakin tinggi tempat jenazah diletakkan, maka akan semakin cepat pula rohnya menuju ke Nirwana. Apabila dari golongan bangsawan yang meninggal, maka diharuskan memotong kerbau berjumlah 24-100 ekor sebagai Ma’tinggoro atau kurban. Pada pemotongan hewan kurban, menggunakan pisau kecil yang mampu menebas leher kerbau dalam sekali ayunan.
Puncak dari upacara Rambu Solo dilaksanakan sekitar bulan Juli dan Agustus di sebuah lapangan khusus. Secara garis besar, upacara ini terbagi ke dalam 2 prosesi, yaitu Prosesi Pemakaman (Rante) dan Pertunjukan Kesenian. Prosesi ini tidak dilangsungkan secara terpisah, namun saling melengkapi dalam keseluruhan upacara pemakaman.
Prosesi Pemakaman atau Rante tersusun dari acara-acara yang berurutan. Prosesi Pemakaman (Rante) ini diadakan di lapangan yang terletak di tengah kompleks rumah adat Tongkonan. Acara-acara tersebut antara lain:
- Ma’Tudan Mebalun, yaitu proses pembungkusan jasad;
- Ma’Roto, yaitu proses menghias peti jenazah dengan menggunakan benang emas dan benang perak;
- Ma’Popengkalo Alang, yaitu proses perarakan jasad yang telah dibungkus ke sebuah lumbung untuk disemayamkan;
- Ma’Palao atau Ma’Pasonglo, yaitu proses perarakan jasad dari area rumah Tongkonan ke kompleks pemakaman yang disebut Lakkian.
Prosesi yang kedua adalah Pertunjukan Kesenian. Prosesi ini dilaksanakan tidak hanya untuk memeriahkan, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan dan doa bagi orang yang sudah meninggal. Dalam Prosesi Pertunjukan kesenian bisa menyaksikan:
- Perarakan kerbau yang akan menjadi kurban
- Pertunjukan beberapa musik daerah, yaitu Pa’Pompan, Pa’Dali-dali, dan Unnosong.
- Pertunjukan beberapa tarian adat, antara lain Pa’Badong, Pa’Dondi, Pa’Randing, Pa’katia, Pa’Papanggan, Passailo dan Pa’Silaga Tedong.
- Pertunjukan Adu Kerbau, sebelum kerbau-kerbau tersebut dikurbankan.
- Penyembelihan kerbau sebagai hewan kurban.
Para keluarga yang mengikuti upacara pemakaman ini akan bersorak-sorai tanpa terlihat adanya kesedihan. Namun, tidak menutupi bahwa akan ada salah satu anggota keluarga yang menangis histeris secara tiba-tiba ketika peti akan dinaikkan ke atas panggung atau lumbung untuk disemayamkan. Di atas panggung, terletak patung Tao-Tao yang bentuknya menyerupai jenazah semasa hidupnya lengkap dengan pakaian dan aksesoris semasa hidup. Bentuk pemakamannya pun berbeda di tiap daerah, yang paling terkenal adalah peti diletakkan di dalam goa yang cukup tinggi. Posisi peti diletakkan pun akan menentukan strata sosial atau derajat jenazah. Jika di Desa Kete’ Kesu, jenazah yang derajatnya tinggi atau dari golongan bangsawan, maka keluarha akan membuatkan Tongkonan khusus untuk jenazah. Sama halnya dengan posisi peletakkan peti jenazah di goa, di Kete’ Kesu pun semakin bagus dan besar Tongkonan, menandakan semakin penting jenazah atau dari keturunan bangsawan. Lain lagi di Desa Bori, di desa ini sebagai penanda jenazah tersebut berasal dari golongan bangsawan atau bukan adalah dengan peletakkan batu dan bentuk batu. Semakin tinggi dan lebar diameter batu tersebut menandakan semakin banyak kerbau dan babi yang telah dikurbankan oleh keluarga jenazah. Namun, peti akan tetap diletakkan di daerah tersebut bukan di dalam goa.
Setelah peti diletakkan di tempat pemakaman, masyarakat Toraja percaya bahwa roh tersebut akan diantarkan oleh kerbau-kerbau yang telah dikurbankan selama prosesi upacara Rambu Solo berlangsung. Upacara Rambu Solo tidak hanya memiliki keyakinan kehidupan setelah mati, tetapi juga dari aspek sosial yang dapat dilihat dari keluarga, strata sosial, dan solidaritas masyarakat. Upacara ini juga mencerminkan martabat dan harga diri keluarga jenazah.
sumber:
Data Terkait:
Tidak Ada Komentar