Tradisi Berbalas Pantun ala Masyarakat Belitung
Tradisi beradu pantun bukan hanya dimiliki oleh masyarakat Betawi saja, namun masyarakat Belitung pun memiliki satu yang disebut Berebut Lawang. Seperti masyarakat Betawi pada Palang Pintu, dalam tradisi Berebut lawang, pihak perwakilan mempelai pria harus beradu pantun dengan pihak perwakilan mempelai wanita agar diberikan izin memasuki rumah calon pengantin wanita. Ada tiga pintu yang harus dilewati. Pintu-pintu ini menjadi simbol tanggung jawab sang suami dalam tradisi Belitung.
Prosesi diawali dengan pihak perwakilan pengantin wanita menjemput pengantin pria di kediamannya. Pihak perwakilan pengantin pria kemudian memberikan sirih, kapur, gambir ke pihak pengantin wanita sebagai simbol penghormatan. Pihak perwakilan pengantin wanita datang dengan diiringi rombongan hadrah (musik rebana). Nah, setelah bersalaman, pengantin pria akan diajak menuju rumah pengantin wanita.
Dalam tradisi tersebut, pihak perwakilan pria harus melewati tiga pintu yang sudah disiapkan oleh pihak perwakilan wanita. Pintu pertama atau lawang pertama berada di halaman rumah pengantin wanita atau disebut pintu tanak nasi. Biasanya yang berbalas pantun pada pintu ini adalah tukang tanak nasi, hal ini mengandung filosofi bahwa pengantin pria harus siap memberi nafkah kepada istri dan anaknya kelak.
Pada pintu berikutnya yang berada di ruang utama disebut pintu panggung. Pada pintu panggung, ketua hajatan atau penghulu yang akan berbalas pantun. Pintu kedua ini memiliki arti bahwa pengantin pria selain mampu memberi nafkah, juga harus siap menjadi imam atau pemimpin bagi keluarganya nanti.
Pintu ketiga atau pintu terakhir yang harus dilewati berada tepat di depan kamar mempelai wanita. Pantun kembali diadu agar sang mempelai pria diperbolehkan masuk ke dalam kamar menemui calon istrinya. Kali ini yang beradu pantun adalah Mak Inang (tukang rias pengantin). Pintu Mak Inang memiliki arti bahwa selain mampu memberi nafkah, menjadi pemimpin rumah tangga yang baik, juga harus mampu merias istri dan anak-anaknya. Sebagai contoh, memberikan pakaian yang layak. Selain berbalas pantun, biasanya juga pihak perwakilan pria memberikan “uang perayu” untuk dapat melewati tiga pintu tersebut.
Setelah pengantin pria dan pengantin wanita bertemu, mereka akan disandingkan bersama di pelaminan. Keluarga pengantin pria diperkenankan menyampaikan maksud dan tujuannya kepada pengantin wanita dengan cara menyerahkan Tipak Engsane (tipak yang tertutup) diikuti kalimat-kalimat atau pantun yang berisikan bahwa menantu beserta keluarganya telah hadir. Selain tipak, keluarga pengantin pria juga menyerahkan seperangkat mahar berupa bingkisan yang berisi uang, perhiasan, maupun kelengkapan untuk pengantin wanita. Isi tipak akan diperiksa satu per satu, sire diputar dan ujungnya dipotong sedikit dan dikunyah, rokok atau korek apinya dikeluarkan dan dipersilakan untuk dinikmati oleh rombongan. Tipak kemudian ditutup kembali hingga rapi. Dengan bantuan pemangku adat, isi bingkisan akan diperiksa sekaligus dihitung jumlahnya. Setelah semua rangkaian selesai, pada malam harinya akan dilakukan jamu-jamuan sebagai rangkaian kegiatan silaturahmi keluarga sekaligus mengharap doa restu.
Artikel diolah dari berbagai sumber.
Data Terkait:
Tidak Ada Komentar