Minuman Tuak Dalam Adat Batak Toba
Provinsi Sumatera Utara yang dihuni oleh berbagai etnis ini tentu saja menarik minat khalayak ramai untuk mengenal adat, budaya, sejarah serta panorama yang terbentang di sana. Jika berbicara tentang makanan dan minuman khas Indonesia tentu tidak akan pernah habis untuk dibahas, salah satunya Minuman Tuak.
Tuak adalah suatu jenis minuman beralkohol Nusantara yang dihasilkan dari hasil fermentasi nira kelapa atau jenis pohon lain penghasil nira (seperti aren), serta beras. Minuman ini berasal dari beberapa daerah di Indonesia seperti Sumatera Utara, Bali, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara. Tuak memiliki kekhasan dari masing-masing daerah asalnya.
Khusus untuk tradisi Batak, minuman ini sering ada saat acara adat, acara kekeluargaan, di Lapo (tempat makan orang Batak) dan juga sebagai jamuan kepada tamu. Popularitas minuman tuak di kalangan Batak Toba menjadikan tuak sebagai minuman khas dan simbolis dari suku Batak. Fungsi tuak dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Batak Toba sering dibahas, namun studi mengenai tuak yang berfokus pada aspek sosial-budaya Batak masih kurang.
Tuak yang biasa digunakan dalam adat Batak adalah tuak tangkasan, tuak yang tidak bercampur dengan raru. Tuak tersebut berasal dari tumbuhan mayang bagot (sejenis tumbuhan Aren). Pohon bargot dahulu dipercaya sebagai pohon mistis akibat legenda asal mula tumbuhan tersebut.
Suku Batak melegendakan sebelum penciptaan manusia bahwa di kerajaan Banua Ginjang (kahyangan) terdapat dewa-dewi yang dipimpin oleh Mulajadi Nabolon (Maha Pencipta Alam Semesta). Dewa Batara Guru memiliki putra dan putri, kedua putrinya bernama Dewi Sorbajati dan Dewi Deak parujar. Sementara, Dewa Mangalabulan juga memiliki putra dan putri, salah satunya bernama Dewa Odapodap yang sangat buruk rupa (apabila dideskripsikan mirip seekor Kadal). Mengetahui tidak seorang pun mau menikahi putranya, Dewa Mangalabulan memohon kepada Mulajadi Nabolon dan Dewa Batara Guru untuk menikahkan Dewi Sorbajati dengan Dewa Odapodap. Mengetahui Dewa Odapodap yang buruk rupa, Dewa Sorbajati tidak rela namun tak memiliki kuasa untuk menolak Ayahnya.
Dewi Sorbajati pun memohon agar pesta perkawinannya diiringi dengan gondang agar ia bisa menari untuk melampiasakan tekanan dan kesedihannya. Dewi Sorbajati menari semalaman hingga tanpa ia sadari melompat ke Banua Tonga (dunia fana). Pada masa itu Banua Tonga masih berupa lautan dan tidak ada tanah untuk berpijak, maka Dewi Sorbajati terombang ambing di lautan. Karena perkawinan harus terus berlangsung, Dewi Deakparujar pun dipaksa untuk menikahi Dewa Odapodap. Dewi Deakparujar pun menerimanya dengan syarat bawa Mulajadi Nabolon segumpal kapas agar ia bisa menenun Ulos Bintang Maratur. Ketika sedang menenun Ulos tersebut, Dewi Deakparujar pun ditegur oleh Mulajadi Nabolon karena pengerjaannya yang sangat lambat. Karena terkaget oleh teguran tersebut, ujung pintalan benang tersebut terjatuh ke Banua Tonga. Dewi Deakparujar pun menjadi takut dan hendak mengambil pintalan tersebut namun Ia ikut terjatuh dan akhirnya bergantung pada seutas benang.
Sang Dewi pun memohon agar diberikan tanah untuk dipijaknya agar bisa melanjutkan menenun Ulos. Semakin luas Ulos yang Ia tenun, semakin luas juga tanah yang Ia pijak. Akhirnya Dewa Odapodap diutus untuk menemui Dewi Deakparujar dan akhirnya mereka menikah, melahirkan manusia Batak pertama. Dewi Sorbajati yang terombang-ambing di air lautan akhirnya terdampar di tanah yang ditempa oleh Dewi Deakparujar dan bertumbuh menjadi sebuah pohon yang disebut Pohon Bagot.
Tuak pada adat Batak tidak digunakan sebagai sesajen untuk para dewata melainkan untuk para roh nenek moyang yang sudah meninggal. Tuak digunakan pada dua acara resmi, yaitu upacara Manuan Ompu-Ompu dan upacara Manulangi. Upacara Manuan Ompu-Ompu adalah upacara yang dilaksanakan pada kubur orang yang sudah tua. Ketika orang yang sudah bercucu meninggal, ditanam beberapa jenis tanaman di atas kuburannya. Menurut aturan adat, air dan tuak harus dituangkan pada tanaman di atasnya. Tetapi sekarang ini biasanya yang dituangkan hanya air saja, atau paling-paling tuak yang mengandung alkohol (tidak harus tuak tangkasan).
Dalam upacara Manulangi, para keturunan dari seseorang Ompung Boru (nenek) memberikan makanan secara resmi kepada orang tua tersebut yang sudah bercucu. Pada upacara ini, turunannya meminta restu, nasihat, dan pembagian harta, disaksikan oleh para petua adat. Pada waktu memberikan makanan harus disajikan air minum, serta tuak.
Tuak adalah minuman yang khas dan simbolik bagi Suku Batak. Tuak merupakan minuman berakohol asli Indonesia, karena Tuak yang digunakan dalam adat Batak adalah tuak tangkasan yang mana tuak tersebut tidak bercampur dengan raru. Apabila biasanya Tuak digunakan sebagai sesajen untuk para dewata, tetapi hal itu tidak berlaku di Adat Batak. Karena di dalam adat Batak, tuak digunakan sebagai sesajen untuk para roh nenek moyang yang sudah meninggal.
Referensi:
Tidak Ada Komentar