Sejarah Perkembangan Opera Batak
Salah satu budaya seni yang pernah menjadi tontonan menarik bagi masyarakat Batak sebelum adanya media elektronik adalah Opera. Seni pementasan cerita ini kini dirasakan sudah mulai terlupakan akibat adanya dominasi teknologi berupa radio dan televisi. Bahkan pementasan Seni Opera Batak yang melakonkan sebuah cerita rakyat itu pun kini sudah langka. Opera Batak merupakan sebuah label dalam budaya Batak. Namun istilah “opera” sebenarnya lebih akrab di Eropa. Pengertian “opera” di Eropa merupakan drama yang dinyanyikan. Jadi dalam kesenian opera, pemeran akan berakting, menyanyi dan sekaligus menari. Ketiga unsur tersebut saling terkait antara satu dengan yang lain. Mulai dari bagian pertama nyanyian, tarian dan lakon cerita saling terkait. Jadi, penonton dapat mengetahui hubungan lagu dengan tarian dan lakon.
Awalnya dalam Opera Batak terkesan seperti nuansa yang ada di Eropa, tetapi antara nyanyian, musik.tari, dan lakon cerita tidak berkaitan. Ada tiga aspek dalam Opera Batak, yaitu Tortor, musik atau lagu, dan lakon cerita. Dalam pementasan, ketiga aspek ini tidak ada kaitannya antara satu dengan lain. Pada Opera Batak, ketiga aspek tersebut terlihat seperti bersaing dalam pementasannya, tapi sama-sama menarik. Menurut catatan sejarah, Opera Batak dimulai dari sekitar tahun 1920-an. Cikal bakal Opera Batak dimulai dari pertunjukan seni seperti Tilhang Parhasapi, Parjamila atau Parjabalungan. Modelnya seperti pengamen yang pergi berkeliling, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain atau ke rumah-rumah. Pertunjukannya ada yang dilakukan oleh satu orang saja dan ada yang harus dilakonkan oleh laki-laki. Misalnya Parjabalungan adalah seorang laki-laki, tetapi dirinya juga melakonkan seorang perempuan. Perempuan pada jamannya tidak gampang keluar rumah, tampak di jalanan apalagi dalam pertunjukan karena kuatnya tradisi orang Batak. Kemudian berkembang menjadi sebuah seni pertunjukan yang diperkaya oleh cerita lakon yang disebut dengan teater. Timbul pertarungan masuknya budaya baru dan penamaan Opera Batak menjadi populer oleh seorang Pastor misionaris sekitar tahun 1930-an yang bernama Pastor Diego Van Den Bigglar. Pastor tersebut mempopulerkan Opera Batak dimulai dari daerah Mogang Kecamatan Palipi Kabupaten Samosir. Sebelumnya, pertunjukkan ini sempat dinamakan Tonil, Tonil Asia, namun nama “Opera Batak” lah yang bertahan hingga kini.
Kemudian Opera Batak mengalami perubahan dengan masuknya pengaruh teater bangsawan. Teater bangsawan ini merupakan gaya pertunjukan yang pementasannya khusus untuk keluarga kerajaan. Sumber ceritanya tetap dari tanah Batak tapi pola atau gaya aktingnya diadopsi dari teater bangsawan. Hal ini dikarenakan sejak dahulu di tanah Batak tidak ada teori tentang lakon atau akting. Diperkirakan ketika para pelaku teater Batak pergi ke tanah Deli dan melihat teater bangsawan setempat, terinspirasilah pola, serta gaya aktingnya. Di Opera Batak yang sangat dibutuhkan adalah bagaimana seseorang aktor yang memerankan tokoh dapat menjiwai perannya dan cerita yang dipentaskan. Dalam Opera Batak, pemerannya tidak ada yang menonjolkan kemewahan. Tetapi pemeran berakting sesuai dengan dialog cerita dan konsisten dalam peran masing-masing. Hal yang menarik adalah awalnya semua dialog muncul spontan oleh para pemeran, namun tetap disesuaikan dengan materi ceritanya.
Dalam satu pagelaran Opera Batak, bisa saja terdapat beberapa versi cerita yang dipentaskan. Seperti dalam cerita si Boru Tumbaga. Ada satu versi mengatakan bahwa dua orang pria yang melepaskan atau menyelamatkan si boru Tumbaga dan adik perempuannya dari tengah-tengah hutan sudah beristri. Tapi ada versi yang lain mengatakan bahwa kedua pria tersebut masih lajang. Munculnya beberapa versi ini akan mempengaruhi pola akting dalam Opera Batak tersebut. Akting seorang lajang akan berbeda dengan akting orang yang sudah beristri. Perjalanan pementasan Opera Batak sendiri di tanah Batak sangat dipengaruhi oleh perkembangan zaman dengan adanya media elektonik seperti televisi. Pertarungan media dalam menyajikan film-film juga memberikan pengaruh, karena Opera Batak dipentaskan secara langsung di hadapan penonton. Tapi yang paling mempengaruhi perkembangan Opera Batak dari dahulu adalah kurangnya regenerasi. Sehingga tidak dapat berkembang, bahkan berkelanjutan pun sulit untuk sekarang ini. Para pemain Opera Batak terdahulu tidak melakukan sistem regenerasi kepada pemain-pemain baru.
Tapi harus disadari juga bahwa pemain Opera Batak saat itu masih belum mengecap pendidikan tinggi. Karena saat itu masih sulit bagi masyarakat Batak secara bebas mengakses pendidikan. Hanya bagi orang-orang tertentu saja bisa sekolah. Dengan keterbatasan pendidikan tersebut, para pemain Opera Batak masih mampu menyajikan sebuah pertunjukan yang menarik. Sekarang ini banyak orang Batak yang sudah mengecap pendidikan bahkan tidak sedikit yang masuk sekolah teater. Namun belum banyak yang melirik bahwa Opera Batak itu sebuah budaya yang dapat digali kembali. Meskipun direvitalisasi dalam bentuk yang modern namun tidak meninggalkan ciri atau prinsip dasar kebatakannya. Satu waktu, ada salah satu stasiun televisi meminta mereka untuk mementaskan Opera Batak dengan cerita Si Boru Tumbaga yang disiarkan sebanyak 33 episode ternyata surplus penontonnya. Untuk tetap eksis mempertahankan seni budaya Opera Batak ini, telah dibentuk pusat latihan. Dalam perjalanan pementasan Opera Batak sampai tahun 1980-an diperkirakan masih ada sekitar 30-an grup Opera Batak. Saat itu yang terkenal adalah grup Seni Ragam Indonesia (Serindo) yang pemainnya sudah plural, yaitu berasal dari suku Batak, Jawa dan lain sebagainya. Bahkan grup ini pernah diundang ke istana oleh Presiden RI pertama alm. Soekarno untuk menyuguhkan pementasan. Opera Batak ini dinilai merupakan salah satu benteng untuk mempertahankan dan mempromosikan nilai-nilai budaya yang ada di tanah Batak. Karena Opera Batak ini merupakan seni pertunjukan yang punya potensi khusus dari akar kultural. Meskipun bisa secara fleksibel untuk menerima hal-hal yang baru. Opera Batak dalam perjalanannya selalu dalam masa transisi, tidak baku dalam tradisi tapi juga tidak modern.
Dalam catatan sejarah teater di Indonesia, Opera Batak belum masuk daftar, baik dari tradisi maupun teater modern. Bagaimana agar Opera Batak ini masuk dalam daftar teater Indonesia? Selama ini, pementasan Opera Batak lebih dikategorikan dalam musik. Padahal Opera Batak memiliki kecenderungan lakon. Opera Batak dalam menampilkan lakon ada yang diambil ceritanya dari Torsa torsa atau cerita legenda, Turi-turian atau cerita rakyat, bahkan ada juga dari mitos atau kepahlawanan. Ada beberapa cerita rakyat asal Batak yang bisa diangkat menjadi cerita dalam Opera Batak. Disebutkan, bahwa ada seorang Profesor bernama Rayne Charle di Eropa yang sudah mengumpulkan beberapa cerita Opera Batak. Raune bahkan sudah menerjemahkan cerita tersebut menjadi sebuah buku dalam bahasa Jerman. Untuk mempertahankan seni budaya Batak, Pusat Latihan Opera Batak yang berkantor di Pematang Siantar saat ini sedang konsentrasi melatih para pemain muda. Meskipun tetap bekerja sama dengan pemain lama untuk rekonstruksi tentang lakon dan cerita yang ada.
Agar inti cerita yang disampaikan dalam pementasan Opera Batak tidak bergeser dari cerita yang sesungguhnya. Seperti cerita Siboru Tumbaga yang menceritakan bagaimana perjuangan seorang perempuan Batak yang mana pada masanya sangat kesulitan untuk memperjuangkan hak waris. Karena tradisi Batak tempat lahirnya cerita ini, seorang perempuan tidak berhak mendapat warisan jika tidak memiliki saudara laki-laki. Sehingga warisan harta orang tua Si Boru Tumbaga akan diwariskan kepada adik Bapaknya yang masih hidup. Seni pertunjukan Opera Batak bukanlah sekedar pertunjukkan yang fungsinya hanya membuat orang senang saja. Tapi lebih dari itu, Opera Batak kini dikemas dalam sebuah cerita yang memberikan pesan nilai-nilai luhur orang Batak dalam bentuk perpaduan antara akting, musik dan nyanyian, serta tari.
Referensi:
Tidak Ada Komentar