Pahlawan Budaya: Yang Muda Sebagai Penggerak, Yang Tua Sebagai Penggertak
“Indonesia darurat kebudayaan!” Sebuah kalimat yang terdengar miris namun nyatanya sangat realistis terhadap refleksi masyarakat Indonesia abad ke-20 ini. Meski bukan sepenuhnya salah modernisasi, namun perlu kita pahami bahwa modernitas adalah sebuah produk dari dua mata pedang globalisasi yang cukup meresahkan, di samping pengaruh positifnya secara cekatan telah merevitalisasi pola pikir anak bangsa yang semula irasional menjadi rasional, keberadaannya juga turut mengorientasi generasi muda kepada degradasi sosial dan budaya di Indonesia.
Dahulu orang mengenal Indonesia sebagai negara yang rakyatnya menjunjung tinggi etika sosial dan norma-norma berdasarkan budi luhur Pancasila. Namun saat ini, Indonesia terbukti sangat jauh dari kata “budi luhur.” Andai saja Pancasila diberikan ruh oleh Tuhan, niscaya kita semua akan bersedih melihat Burung Garuda menangisi kematian sila-silanya. Kita akan melihat pemandangan yang buruk saat garuda rontok bulunya dan retak perisainya, bintangnya diredupkan paham atheisme, rantainya berkarat terurai individualis, beringinnya ditebang kapak disintegritas, banteng mati busuk terbunuh materialisme, padi dan kapas melayu dibasmi hama diskriminasi dan eksploitasi, serta Bhinneka Tunggal Ika yang tanggal dari cengkraman identitas nasional. Miris bukan? Tidak sedang berpuisi, karena ini adalah kondisi real bangsa Indonesia saat ini.
Oleh karena itu, maka penting bagi kita untuk lebih peduli terhadap budaya yang telah diperjuangkan eksistensinya sejak turun-temurun ini, generasi muda bersama generasi tua perlu bersinergitas menggerakan ide-ide brilian dalam merevitalisasi budaya Indonesia secara kolektif. Dalam melestarikan budaya asli Indonesia, generasi muda berperan dalam menyaring berbagai hal yang baik dan buruk. Masuknya budaya asing ke Indonesia, membuat masyarakat Indonesia lebih menjunjung tinggi aspek kebebasan daripada aspek moralitas, hal ini berpotensi menumbuhkan benih-benih liberalisme kepada generasi muda, sehingga banyak dari mereka para generasi muda mengesampingkan norma dan budaya demi kepuasan dan kesenangan individu.
Salah satu langkah visioner yang perlu dilaksanakan ialah dengan memanfaatkan teknologi. Seharusnya eksistensi teknologi di Indonesia dapat dimanfaatkan dengan baik untuk menyuarakan literasi kebudayaan di kalangan masyarakat, bukan justru sebaliknya. “Yang muda sebagai penggerak, yang tua sebagai penggertak“, artinya para pemuda sebagai generasi penerus bangsa dan agen perubahan perlu mengambil langkah strategis dengan memanfaatkan teknologi dan digitalisasi untuk melestarikan budaya, adapun generasi tua sebagai “penggerak” perlu memberikan edukasi dan wawasan nasionalisme kepada generasi muda untuk tetap pada civic confidence dan bangga pada budaya NKRI. Dalam arti lain, pemuda bergerak sebagai agen of change dan orangtua sebagai penasihat yang berdiri di balik pergerakannya.
Bagaimanapun juga anugerah berupa budaya ini perlu kita lestarikan eksistensinya, karena jika budaya asli tidak dipertahankan dengan baik maka ia akan terkikis dan tergantikan oleh budaya-budaya baru yang masuk ke Indonesia, hal itu jika dibiarkan lambat laun Indonesia akan mengalami banyak praktik sosial berupa krisis moral yang akan menghancurkan Pancasila sebagai identitas nasional.
Situs Terkait:
Tidak Ada Komentar